Cemooh ini berangkat dari ketidaksepakatan saya terhadap realitas masyarakat dewasa ini, yang tentu saja ditawarkan dan kemudian dibentuk oleh sistem maha benar nan agung. Di mana, sistem tersebut telah membentuk suatu tatanan masyarakat pasar (baca: globalisme; kapitalisme liberal; konsumerisme) yang sangat ideal untuk kemudian dapat disebut sebagai masyarakat seragam.
Masyarakat pasar adalah bentuk masyarakat yang sangat tergantung pada hubungan-hubungan ekonomi setan yang secara sadar ataupun tidak, selalu menghamba pada apa-apa yang oleh para pemodal (baca: kapitalisme) jejalkan setiap harinya. Kemudian inilah yang menjadikan masyarakat terlihat sebagai tatanan yang seolah-olah utuh, hampir tak tergoyahkan, terkesan bahagia menjalani hari-hari mereka yang panjang, namun sebenarnya sangat rapuh, patuh, dan seragam. Karena hal inilah yang oleh para pemodal inginkan untuk membangun dunianya yang serba kemewahan, tanpa peduli apa-apa yang telah mereka rampas dari masyarakat tersebut.
Saya tak ingin memberi tahu apa yang harus diri kita lakukan sebagai individu dalam masyarakat untuk benar-benar keluar dari sistem tersebut. Karena saya tidak berencana untuk menciptakan tatanan masyarakat tandingan dengan siapapun yang selalu bilang; bahwa tak ada yang benar-benar bisa kita perbuat untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan sehat sekalipun pada diri kita sendiri.
Kenormalan adalah sesuatu hal yang sangat berbahaya. Sebab terdapat penyeragaman dalam kenormalan masyarakat. Normal ada karena hal tersebut merupakan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat yang oleh para kapitalis siram tiap waktu untuk tetap dapat menyeragamkan pola pikir tiap individu di dalamnya demi membentuk masyarakat yang patuh. Ketika terdapat individu ataupun kelompok yang mencoba untuk keluar dari kenormalan menuju keabnormaan tatanan yang ada, maka harus disingkirkan dan diasingkan, atau dapat juga saya katakana harus dijinakkan untuk menjadi normal demi lingkungan masyarakat yang stabil. Sebenarnya menjadi sesuatu yang normal merupakan kekonyolan mengingat bahwa layaknya setiap individu memiliki keberagaman persepsi maupun ide-gagasan yang sama-sama unik. Dari hal ini hegemoni telah masuk. Demi misi penjinakan masyarakat, para pelaku (baca: hegemon) harus membuat masyarakat tetap senormal mungkin.
Kasus nyata yang terjadi adalah kehidupan mahasiswa, di mana hampir tidak saya temui perbedaan yang berarti dari setiap diri mereka, kecuali bentuk fisik dan cara mereka tertawa. Sebenarnya ada beberapa mahasiswa yang dapat saya katakana sebagai ornag-orang yang abnormal, artinya ia menolak keseragaman itu, menolak penundukan itu, menolak kenormalan itu dengan apa-apa yang mereka omongkan dan dengan praksis-praksis yang mereka kerjakan. Namun sayangnya mahasiswa semacam ini adalah para kaum minoritas dan seringkali diasingkan dalam lingkungan kampusnya bahkan oleh kawan-kawannya. Tetapi bukankah yang selalu diasingkan bukan berarti tidak memiliki kedaulatan berpikir bukan? Berbeda dengan mahasiswa normal tadi, setidaknya para minoritas asing ini tidak menjadi sosok Sisifus dalam mitologi Yunani Kuno yang selalu sibuk mendorong batu ke atas bukit kemudian menggelindingkannya ke bawah, untuk ia dorong lagi ke atas bukit kemudian ia gelindingkan lagi ke bawah dan seterusnya tanpa henti selama hidupnya demi semata-mata jadi hiburan para dewa. Lucunya, saya melihat kesamaan yang dimiliki para mahasiswa normal dengan Sisifus kasihan tadi. Jika Sisifus disibukkan dengan batu yang ia dorong dan gelindingkan secara berkelanjutan sepanjang hidupnya, mahasiswa normal tadi mengejewantahkannya dengan pola hidup yang mereka jalani, berangkat kuliah pagi-pagi, rajin masuk kelas dan mengisi absensi, gemar mengerjakan tugas-tugas demi IPK tinggi, lulus kuliah dengan modal skripsi tanpa banyak revisi, dan akhirnya hanya menjadi mesin bagi para hegemon untuk mengekalkan posisinya dan menumpuk harta makin banyak lagi. Tunduk, normal, menyibukkan diri dengan mendorong batu tanpa bisa bertanya kenapa harus mendorong batu. Cerita boleh beda antara Sisifus dengan mahasiswa, namun kekonyolan keduanya tetap sama, sama-sama tunduk dan patuh pada kekuasaan.
Dengan demikian, si mahasiwa dipaksa untuk terus sibuk dengan hari-hari studinya di kampus dan secara langsung keluar dari tanggungjawab sosialnya sebagai masyarakat. Mahasiswa dijauhkan dari permasalahan politik dan gerakan-gerakan perlawanan karena menurutnya kedua hal itu merupakan hal yang jikik dan haram. Rajin berangkat kuliah, mengikuti kelas secara rutin, pulang, dan sudah , sejauh itu saja.
Dengan posisi mahasiswa yang menjelma Sisifus tadi, secara langsung ia tidak akan sempat untuk mengeksplorasi dirinya sendiri, tak sempat hanya untuk sekedar bertanya pada dirinya; apa yang sebenarnya saya butuhkan dan yang menjadi bakat saya dalam hidup ini? Karena sejujurnya, tak ada seorang pun yang ingin cita-citan dan kerjaannya hanya mendorong batu selama hidupnya. Namun rasanya, hidup dengan mendorong batu selamanya atau lulus kuliah dengan catatan akademik “sangat baik” kemudian bekerja sebagai mesin adalah pencapaian paling baik, aman, dan normal untuk digeluti. Alih-alih ingin menjadi agen perubahan masyarakat yang terkesan elitis, si mahasiswa justru menjadi pion-pion atas praktik-praktik kepentingan para hegemon pembuat sekaligus pemain catur professional. Kandaslah harapan mahasiswa.
Bahwa terlalu banyak “resiko” jika mahasiswa tak kunjung lulus dari studinya di penjara-penjara kampus mereka. Yang sebenarnya, apa yang saya sebut resiko di atas tadi sering kali hanyalah kontruksi pikiran yang telah tercemar limbah modernitas, yang melahirkan kepanikan kita saat jatah semester hampir habis, yang membuat orang tua kita selalu saja menanyakan kapan anaknya akan segera wisuda, yang membuat kita putus dengan kekasih karena si kekasih lebih memilih seseorang yang lebih normal dan (tidak) jelas jalan hidupnya (baca: mesin kapitalis), yang membuat kita seakan terlihat aneh di masyarakat. Namun dari realitas dan kekhawatiran konyol barusan, setidaknya masih ada individu-individu mahasiswa yang lebih memilih melihat “resiko-resiko” tadi sebagai pengalaman mereka. Maka setidaknya dengan permasalahan akademis yang ia alami, itu adalah proses pembentukan pribadi yang lebih sehat untuk dilakukan agar supaya kelak setelah lulus, setidaknya ia tahu apa yang harusnya dilakukan untuk tidak tenggelam dalam cerita mitologi Yunani Kuno ala Sisifus.
Namun inilah modernisme, di mana segalanya (harus) mengalami percepatan. Termasuk cepat lulusnya para mahasiswa. Namun percepatan ini harus didemo, sebab ia menggusur banyak sekali esensi dan makna hidup, memperkosa segalanya demi kerja, kerja, dan kerja, seperti yang selalu Jokowi gaungkan lewat mulut bau dan berisiknya.
Sebenarnya permasalahan yang lebih penting bukan pada lulus cepat atau lulus lama, namun apa yang oleh para mahasiswa lakukan semasa kuliahnya. Mau lulus dengan cumlaude atau dengan menghabiskan semua jatah semesternya itu tak jauh beda selama para mahasiswa bisa belajar apa-apa yang ia sukai dan minati selama proses studinya. Baik belajar apapun di luar kampus yang menurut si mahasiswa menarik, sambil merenungkan bagaimana masyarakat yang miskin sangat susah dan mungkin tak akan pernah menjadi kaya, bagaimana bisa presiden atau ketua DPR atau yang mukanya sering menyesaki televisi hanya itu-itu saja, atau juga bisa membangun relasi yang sehat dengan berbagai macam individu dengan latar belakang yang beragam, belajar di dalam gerakan lingkungan dan kemanusiaan, atau pacaran sambil melakukan perdebatan dan diskusi perihal sosial-budaya masyarakat.
Seharusnya mahasiswa mengalami kemuakan dan kejenuhan atas realitas kampus mereka, merenungi dan mengamini apa yang Haruki Murakami katakana keras-keras bahwa; “hal terbaik dari sekolah adalah kita jadi tahu bahwa hal terbaik dari hidup tidak bisa didapatkan di sekolah”, kemudian mendobrak gerbang kampus dan belajar perihal dunia di luar benteng ilmu pengetahuan yang sombong dan angkuh.